Pengalaman Pertama Naik Pesawat Terbang

 

Pengalaman-Pertama-Naik-Pesawat-Terbang
Pengalaman Pertama Naik Pesawat Terbang

Pengalaman Pertama Naik Pesawat Terbang

Naik pesawat terbang pertama kali itu mirip dengan pengalaman pertama kali nyetir mobil—bikin panik dan mengocok perut. Bedanya, kalau nyetir mobil, kita masih punya kontrol penuh. Kalau naik pesawat, kita hanya bisa pasrah dengan nasib yang ditentukan oleh pilot yang entah sudah cukup tidur atau belum.

Pagi itu, saya bangun dengan semangat sekaligus cemas. Jadwal penerbangan jam delapan, tapi jam lima pagi saya sudah gelisah. Alarm handphone berkali-kali mati sendiri karena disentuh tanpa sadar. Padahal, suara alarm handphone itu seperti suara sirine ambulans yang berusaha menyelamatkan saya dari mimpi buruk bernama "telat check-in".

Sampai di bandara, hal pertama yang bikin pusing adalah proses check-in. Saya sudah latihan check-in online semalam, tapi entah kenapa tetap merasa ketinggalan jaman. Seperti saat tiba-tiba dipaksa belajar teknologi baru yang belum pernah saya sentuh. Saya melihat mbak-mbak di konter check-in dengan pandangan penuh harap, berharap dia bisa membaca pikiran saya yang intinya cuma satu: “Tolong, saya butuh bantuan, jangan buat saya terlihat bodoh di depan banyak orang.”

Setelah melewati drama check-in, saya langsung dihadapkan dengan ritual baru: pemeriksaan keamanan. Rasanya seperti masuk ke acara talent show, bedanya yang dinilai bukan bakat, tapi benda-benda tersembunyi di dalam tas. Saya lihat orang-orang dengan tenang melepaskan sabuk, jam tangan, dan memasukkan segala macam barang ke dalam tray plastik. Saya ikut-ikutan, tapi saat melepas sepatu, saya baru sadar kalau kaus kaki saya bolong. Momen malu yang bikin saya berharap bisa menyusut ke dalam lubang tray plastik itu.

Masuk ke ruang tunggu, saya baru sadar kalau ada perbedaan besar antara orang yang sudah sering naik pesawat dan yang baru pertama kali. Orang-orang veteran ini duduk santai, baca buku atau main handphone, seolah mereka sedang menunggu bus kota. Saya, di sisi lain, duduk tegang, dengan tatapan mata awas ke arah layar pengumuman. Takut kalau-kalau pesawat saya tiba-tiba ganti rute ke Afrika.

Panggilan boarding tiba, dan saya mulai berbaris seperti anak sekolah yang baru pertama kali naik angkot. Masuk ke dalam pesawat, saya disambut oleh pramugari yang senyumnya seperti hasil operasi plastik. Sopan tapi sedikit mengintimidasi. Saya mengikuti instruksi dengan patuh, mencari nomor kursi saya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ternyata, kursi saya di sebelah jendela, yang katanya tempat terbaik buat menikmati pemandangan. Tapi yang terjadi, saya lebih banyak merenung tentang hidup sambil melihat sayap pesawat yang bergerak seperti di film sci-fi.

Saat pesawat mulai lepas landas, perut saya seperti diaduk-aduk oleh blender raksasa. Suara mesin pesawat membuat saya merapal doa-doa yang tidak saya hafal dengan baik. Tiba-tiba, turbulensi. Rasanya seperti naik roller coaster yang tidak ada ujungnya. Penumpang lain tampak tenang, mungkin sudah biasa. Saya, di sisi lain, menggenggam sandaran kursi dengan keringat dingin mengucur.

Namun, di tengah segala kecemasan itu, ada momen ketika pesawat sudah stabil di udara. Saya melihat keluar jendela dan menyaksikan pemandangan awan yang begitu indah. Semua ketakutan dan kecemasan seakan hilang sejenak. Langit yang biru dan awan putih yang berserakan menjadi latar belakang pemandangan yang luar biasa.

Saat pesawat mendarat, saya merasa seperti pahlawan yang baru saja menyelesaikan misi berbahaya. Ada perasaan lega dan bangga yang sulit dijelaskan. Naik pesawat pertama kali memang penuh drama dan ketegangan, tapi akhirnya saya bisa berkata, "Saya berhasil." Dan itu adalah pencapaian kecil yang membuat saya tersenyum sepanjang perjalanan pulang.

Begitulah, pengalaman pertama naik pesawat terbang. Penuh tantangan, tawa, dan sedikit rasa takut yang membuat saya menghargai setiap momen. Mungkin, ini akan jadi awal dari petualangan-petualangan seru lainnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak