Jadi begini, suatu hari saya terjebak dalam sebuah situasi yang tak pernah saya duga sebelumnya: menjadi ketua organisasi. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya, tidak ada ramalan dari mbah dukun, dan jelas bukan hasil dari kebiasaan membaca horoskop mingguan. Kejadian ini bermula saat saya sedang duduk manis di pojok ruangan rapat, berusaha menyembunyikan diri di balik layar laptop sambil pura-pura sibuk mengetik.
Tiba-tiba, si Ketua Lama, sebut saja namanya Bang Ganteng,
berdiri dan mengumumkan bahwa ia akan segera pensiun dari jabatannya karena
alasan pribadi. Tentu saja, saya sangat mendukung keputusan beliau, siapa sih
yang nggak ingin lebih banyak waktu untuk main game dan tidur siang? Tapi
kemudian terjadi hal yang lebih mengejutkan: dia menyebut nama saya sebagai
calon penggantinya.
Sekali lagi, tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Saya bahkan
tidak ingat kapan terakhir kali saya bilang "ya" untuk apapun yang
berbau tanggung jawab besar. Tapi ya sudahlah, demi menjaga reputasi sebagai
orang yang "terbuka untuk tantangan baru" (baca: terlalu takut untuk
menolak di depan umum), saya akhirnya menerima tawaran itu dengan senyum yang
dipaksakan dan tepukan punggung yang lebih mirip pukulan smackdown.
Hari pertama sebagai ketua, saya berhadapan dengan tumpukan
tugas yang rasanya lebih menakutkan daripada setumpuk soal ujian matematika di
SMA. Rapat demi rapat, diskusi demi diskusi, dan tentu saja, drama demi drama.
Ternyata menjadi ketua organisasi itu nggak jauh beda sama jadi aktor sinetron,
bedanya cuma nggak ada kamera dan honor yang bikin hati senang.
Ada satu momen yang paling bikin saya mikir keras: rapat
anggaran tahunan. Bayangkan saja, saya yang nggak terlalu mahir dalam berhitung
tiba-tiba harus mengatur keuangan organisasi. Lebih gila lagi, saya harus
menyampaikan laporan anggaran ini di depan anggota lain yang jumlahnya lebih
banyak dari penonton konser dangdut. Jantung saya berdebar lebih kencang dari
suara bedug lebaran.
Namun, di tengah segala kekacauan dan kebingungan itu, ada
satu hal yang saya pelajari: menjadi ketua organisasi adalah tentang belajar
mengelola ketakutan dan kegagalan. Saya belajar bahwa kepemimpinan bukan soal
tahu segalanya, tapi soal siap untuk belajar dan beradaptasi. Kadang-kadang,
yang dibutuhkan cuma sedikit keberanian untuk berkata "Saya tidak tahu,
tapi saya akan cari tahu."
Seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa dengan rutinitas
ini. Saya mulai bisa menemukan cara untuk mengelola waktu, mengatur prioritas,
dan yang paling penting, menemukan cara untuk tetap waras di tengah segala
kesibukan ini. Saya juga belajar untuk lebih menghargai kerja keras anggota
lain, karena tanpa mereka, saya mungkin sudah menyerah sejak hari pertama.
Jadi, begitulah pengalaman saya menjadi ketua organisasi.
Tidak sempurna, penuh lika-liku, tapi juga penuh dengan pelajaran berharga.
Jika ada satu pesan yang bisa saya sampaikan, itu adalah: jangan takut untuk
keluar dari zona nyaman. Kadang, petualangan yang tak terduga bisa membawa kita
ke tempat yang lebih baik, atau setidaknya, memberikan kita cerita yang menarik
untuk diceritakan.
Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti saya akan jadi
ketua organisasi yang lebih baik, atau mungkin saya akan kembali ke pojok
ruangan rapat, dengan laptop saya, menikmati ketenangan sambil pura-pura sibuk
mengetik.