![]() |
Susahnya Menjelaskan Plot Anime ke Orangtua |
Drama di Balik Layar Keluarga
“Ngapain sih nonton kartun terus, nggak ada kerjaan lain
apa?” begitu kata Ibu, dengan nada penuh tanda tanya yang kadang bikin kuping
panas. Bagi generasi milenial yang hobi nonton anime, momen ini mungkin sudah
jadi makanan sehari-hari. Orangtua kita, dengan segala kearifan lokalnya,
sering kali menganggap semua yang bergambar animasi itu sama. Padahal, coba deh
suruh mereka nonton satu episode “Attack on Titan”, yakin langsung jungkir
balik.
Episode 1: Mengenalkan Naruto di Tengah Kue Lapis
Kisah bermula ketika saya duduk santai di ruang tamu,
menonton ulang “Naruto”. Saat itu, Naruto lagi latihan rasengan, sesuatu yang
buat saya lebih menarik dari apapun di dunia nyata. Tiba-tiba, Ayah lewat
sambil membawa kue lapis. “Ini apaan sih? Kok rame-rame teriak?” tanyanya. Saya
menarik napas panjang, berusaha mencari analogi sederhana.
“Gini Yah, bayangin Naruto ini seperti si Doel, tapi dia
ninja. Terus, dia pengen jadi pemimpin desa.” Ayah hanya mengangguk-angguk,
lalu menaruh kue lapis dan pergi. Dalam hati, saya tahu, Ayah tetap nggak
ngerti. Tapi, yah, usaha nggak ada salahnya, kan?
Episode 2: One Piece dan Makna Pencarian Harta Karun
Lanjut lagi, kali ini dengan Ibu. Saya mencoba menjelaskan
“One Piece” saat makan malam. Ibu mulai bertanya-tanya kenapa Luffy selalu
pakai topi jerami. “Bu, Luffy itu nyari harta karun legendaris, kayak mencari
jodoh yang sempurna,” kata saya setengah bercanda. Ibu hanya tertawa kecil,
tapi saya tahu dalam benaknya, Luffy mungkin sama absurdnya dengan Firaun
Mesir.
Episode 3: Attack on Titan di Tengah Diskusi Tagihan Listrik
Mungkin yang paling susah adalah menjelaskan “Attack on
Titan” ke mereka. Ketika saya lagi asik nonton adegan Eren berubah jadi Titan,
Ayah tiba-tiba nongol. “Kok kayak Godzilla?” katanya sambil bingung. “Yah, ini
ceritanya tentang manusia yang bertahan hidup dari serangan raksasa,” saya
mencoba menjelaskan. Namun, dia cuma angguk-angguk lagi, lalu ganti topik soal
tagihan listrik yang naik. Di situ saya sadar, mungkin ada beberapa hal yang
memang tak perlu dijelaskan.
Episode 4: Ketika My Hero Academia Jadi Debat Siang Hari
Puncak dari segala drama adalah ketika saya mencoba
memperkenalkan “My Hero Academia” ke Ibu. Ceritanya tentang anak-anak dengan
kekuatan super yang belajar di sekolah khusus. Ibu hanya mengernyitkan dahi dan
berkata, “Kenapa nggak belajar biasa aja, jadi dokter atau insinyur?”
Saya hanya bisa tersenyum kecut. Dalam dunia Ibu, super
power nggak lebih penting dari rapor bagus dan gelar sarjana. Mungkin ada
benarnya juga, tapi dunia anime menawarkan pelarian dari kenyataan yang kadang
membosankan.
Episode Terakhir: Menerima Perbedaan Dunia
Pada akhirnya, saya menyadari satu hal. Orangtua kita hidup
di dunia yang berbeda. Bagi mereka, menonton TV adalah tentang berita atau
sinetron, bukan anime dengan plot rumit dan karakter yang terus berkembang.
Mungkin susah bagi mereka memahami kenapa kita suka banget dengan cerita-cerita
ini, tapi bukankah itu bagian dari keunikan kita sebagai generasi?
Lagipula, bukankah kita juga kadang bingung dengan pilihan
mereka yang lebih suka nonton dangdut di TV daripada konser virtual? Yang
terpenting, setiap orang punya cara sendiri untuk menikmati hidup, dan mungkin
suatu hari nanti, saat saya jadi orangtua, saya akan mengerti lebih banyak.
Atau mungkin, justru anak-anak saya yang akan menjelaskan teknologi baru yang
saya nggak ngerti. Siapa tahu?
Dan di sinilah kita, terus mencoba, terus belajar, sambil
sesekali tergelak di tengah-tengah usaha menjelaskan plot anime yang begitu
kompleks, seolah hidup ini memang dibuat untuk sedikit drama di balik layar
keluarga.