Curhat di Atas Awan: Kisah Konyol yang Terjadi di Puncak Bogor

 

Kisah-Konyol-yang-Terjadi-di-Puncak-Bogor
Kisah Konyol yang Terjadi di Puncak Bogor

Ada kalanya hidup butuh sedikit drama, tapi yang nggak terlalu bikin pusing kepala. Salah satu drama favorit gue adalah mendaki Puncak Bogor, tempat di mana segala rencana sempurna bisa berubah jadi kekacauan total. Ini kisah gue dan teman-teman, yang niatnya mau mencari ketenangan, tapi malah menemukan kekonyolan di atas awan.

Sabtu pagi, matahari masih malas bangun, dan kita sudah siap dengan segala peralatan perang: ransel gede, jaket tebal, dan tentunya semangat yang membara. Kita berangkat dari Jakarta dengan mobil yang mirip sarden kalengan—sesak, pengap, tapi penuh canda tawa. Kalian pasti tahu tipe perjalanan begini, yang isinya lebih banyak bernyanyi sumbang dan ngomongin hal nggak penting, daripada tidur nyenyak.

Perjalanan naik ke Puncak seperti biasa: macet. Tapi kali ini kita menikmatinya, karena macet kali ini punya tujuan mulia—menyapa alam. Sampai di titik awal pendakian, kita mulai merangkak naik, dan di sinilah drama bermula.

Teman gue, Budi (bukan nama sebenarnya, biar dia nggak tersinggung), mulai mengeluh kebelet pipis setelah lima menit mendaki. Bukan masalah besar, kan? Nah, kalau kalian tahu Budi, kalian pasti paham dia punya bakat alami untuk menemukan masalah di tempat yang nggak seharusnya. Dia nemu semak-semak, masuk, dan... disambut rombongan lebah! Teriakan Budi bikin seisi hutan tahu kalau dia ada di sana. Kita lari ke arahnya, tapi lebah-lebah itu kayak pasukan ninja yang nggak kelihatan, menyengat tanpa ampun.

Setelah drama lebah, kita lanjut lagi mendaki. Ternyata alam Puncak punya selera humor yang tinggi. Tiba-tiba cuaca berubah, kabut turun seketika, dan kita nyasar. GPS? Mati. Sinyal? Menghilang. Kita mulai merasa kayak pemeran utama di film horror yang plotnya gampang ditebak—tersesat, panik, dan saling menyalahkan.

Yang lebih konyol lagi, di tengah kepanikan, kita nemu warung kopi kecil di tengah hutan. Pemiliknya santai aja, ngeliat kita kayak ngeliat turis tersesat yang sudah jadi makanan sehari-hari. Kita mampir, beli kopi, dan bertanya arah. Si ibu penjual cuma bilang, "Lurus aja, nanti juga sampai." Katanya sambil senyum tipis, seolah bilang, "Anak-anak kota memang lucu-lucu."

Setelah kopi dan sedikit ketenangan, kita lanjut perjalanan. Sampai di puncak, pemandangan luar biasa menyambut kita. Rasa lelah dan kekonyolan yang terjadi seharian mendadak hilang. Kita duduk, menikmati angin sepoi-sepoi, dan mulai curhat tentang hidup masing-masing. Mungkin itulah momen paling berharga dari pendakian ini—bukan puncaknya, tapi perjalanan dan cerita-cerita konyol yang tercipta.

Akhirnya, kita turun dengan hati yang lebih ringan, meski kaki berat dan badan penuh bekas sengatan lebah. Kadang-kadang, konyolnya hidup justru jadi bumbu yang membuat segalanya lebih berwarna. Puncak Bogor mengajarkan kita satu hal: dalam hidup, jangan terlalu serius, nikmati saja tiap momennya, dan kalau bisa, bawa salep anti sengat lebah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak